TIPS MENULIS NOVEL ROMAN (oleh Christian Simamora from his FB)
#1: adegan bicara dalam hati (interior dialogue) kadang diperlukan untuk menggambarkan keadaan emosional tokoh. Tapi kalo terus-terusan... kok nggak lucu ya? Dan hindari terus-terusan membuat si karakter mengeluhkan hal yang sama. Ini akan membuat pembaca gemes sekaligus bosan.
#2: hati-hati saat menulis adegan sensual. Bukannya membuat pembaca terlena, malah bikin ilfil dan jijik. Dan berhubung kita berada di Indonesia, just so you know, adegan sensual yang kelewat x-rated (kayak yang beberapa kali pernah saya temukan di antara tumpukan naskah masuk) malah menjadi poin minus naskah itu sendiri.
#3: dialog yang baik mampu membawa pembaca ke 'sequence' baru sebuah cerita, memberi informasi, atau memperkaya pengetahuan pembaca akan karakter tersebut. Tapi dialog itu bisa jadi tak memberi ketiga manfaat tadi...kalau caramu menuliskannya witty dan terbukti bisa membuat pembaca terhibur.
#4: dialog bisa digunakan untuk memperlihatkan emosi karakter. saat marah, karakter berbicara dengan kalimat singkat dan ketus. sebaliknya, kalau karakternya sangat sopan, saat marah kalimatnya justru panjang-panjang dan cenderung menyembunyikan emosi sebenarnya.
#5: hati-hati menggunakan dialek. pertama, membaca novel romantis yang sedikit-sedikit harus melirik catatan kaki bisa dibilang mengganggu lho. plus, karena tidak familier, pembaca bisa merasa 'tersandung-sandung' saat membaca kalimat dari bahasa daerah yang kental. solusi: keluarkan sesekali aja, sekad...ar memberi 'bumbu' pada cerita.
#6: 'opposite attraction' berlaku dalam urusan perjodohan karakter cewek dan cowok di romance. pasangkan cowok tipe alpha dengan karakter yang lugu dan inferior. pasangkan si cewek judes dengan cowok kalem. use your imagination, dear!
#7: nobody's perfect, 'kay? jadi aturan pertama menulis romance (atau genre mana pun deh): JANGAN PERNAH MEMBUAT TOKOH SERBA SEMPURNA. Yang kayak gitu gak akan pernah ada di bumi manusia ini *lebay*. Udah gitu, hoahm, membosankan. Pembaca juga sulit relate sama tokoh yang nggak ada cacatnya sama sekali.
#8: tes dialog yang kamu buat dengan membacanya keras-keras. Lalu, nilai sendiri deh, apa kedengaran janggal, terlalu panjang, dsb. Atau, apakah orang dengan karakter seperti yang kamu buat bakal bicara begitu? Jujur lho ya. Penulis narsis dan suka menyangkal diri pasti sulit tuh disuruh mengakui kesalahannya sendiri kayak gini.
#9: daripada menulis 'si A ganteng', kenapa nggak diubah aja menjadi 'wajah indo A dan rahangnya yang tegas adalah hal pertama yang membuatku terpesona. Kemeja kotak-kotak itu membungkus tubuh atletisnya dengan sempurna. Bla, bla, bla.' Pokoknya deskripsikan aja kata sifat yang pengen kamu labelkan ke si karakter. Jadinya keren lho!
#10: khususnya buat penulis yang pengen bikin novel komedi romantis. Pikirkan hal-hal lucu atau 'one liner' yang memang berdasarkan karakter tokoh. jangan terlalu fokus membuat situasinya lucu karena biasanya bakal berujung ke komedi slapstick. (dan, fyi, dalam romance, slapstick biasanya dihindari banget--malah, kalo bisa, diharamkan).
#11: saat membuat 'saingan cinta' tokoh cewek, hindari klise-klise seperti a) orangnya jahat banget/licik berat b) agresif c) kontras dengan tokoh utama (pola yg sering muncul: feminin vs tomboy berat, cantik vs biasa banget, kaya vs menengah/miskin).
#12: pilihlah nama yang sifatnya mendukung kesan pembaca bagi kedua karakter utamamu. nama yang maskulin buat karakter alpha male, dan sebaliknya. sebisa mungkin hindari nama androgini.
#13: 'nyawa' novel sebenarnya terletak di lima halaman pertama. Kalo kamu berhasil memikat pembaca di lima halaman pertama, kemungkinan besar mereka akan meneruskan membaca novelmu sampai habis.
#14: ending sama pentingnya dengan lima halaman awal. pastikan ending yang kamu tawarkan memang masuk akal dan berupa solusi dari konflik. pembaca bisa jadi mengikuti novelmu dari awal, tapi keti...ka ending-nya mengecewakan, rasa tidak puasnya jauh lebih besar lho!
#15: untuk mengolah suasana jadi lebih seksi dan sensual, sebenarnya kamu bisa bermain2 dengan pilihan kata. 'deg2an' jadi 'berdebar2' atau 'dadanya berdesir'. use your imagination, y'all!
#16: bab awal menentukan keputusan pembaca mau melanjutkan membaca novelmu atau nggak. bab akhir menentukan keputusan pembaca masih mau membaca tulisanmu lagi di masa mendatang.
#17: setiap adegan sebaiknya punya kontribusi bagi plot. libatkan 3 hal penting: adegan itu punya tujuan, ada konflik, dan dilema. memulai setiap adegan dengan kalimat menarik (hook) dan mengakhirinya dengan dilema akan membuat pembaca terus penasaran. btw, trik ini dipake banget di cerbung majalah/koran. :)
#18 - #21==> ada 4 hukum menulis dialog:
1. (#18) sebelum menulis, kamu harusnya sudah tahu untuk apa adegan itu harus ada di novelmu. dialog pun ditulis dengan menyesuaikan tujuan itu.
2. (#19) dialog dan adegan harus memberi kontribusi bagi perkembangan plot. mirip kyk tips #3 dehhh... ;p
3. (#20) hindari menulis dialog dari percakapan sehari-hari karena ujung-ujungnya jadi pasti panjang banget dan bertele-tele.
4. (#21) 'dialog tag' itu perlu. Banyak-banyak membaca bisa ngasih kamu ide untuk mencari alternatif dari sekadar 'dia berkata' atau 'katanya'.
#22: kamu bisa bikin banyak alasan untuk membenarkan kenapa sampai sekarang novelmu nggak selesai. Tapi, asal tahu aja, penerbit nggak bisa menerbitkan ide dan angan-angan. Jadi, kalau kamu pengen jadi penulis, syaratnya cuman satu:
MENULISLAH!!!!!!
Dan berhenti nyari alasan buat menunda2.
MENULISLAH!!!!!!
Dan berhenti nyari alasan buat menunda2.
#23: sebaiknya hindari menulis novel romance dari KISAH NYATA--entah dari pengalaman sendiri atau orang lain. Kalo dari pengalaman sendiri, terlalu personal. Kalo dari pengalaman org lain, minta izinnya susah. Belum lagi kalo dia nggak setuju sama bbrp bagian cerita. Ugh. Bikin semuanya fiktif kenapa sih? Dijamin tenang lahir-batin. :)
MENULIS NOVEL PERTAMA KALINYA (Oleh Christian Simamora from his FB)
#1: MULAILAH DENGAN SEBUAH IDE, KEMBANGKAN MENJADI PLOT UTUH.
Ide seringnya muncul begitu saja. Serius, bisa kapan aja—dan ini ada sisi baik dan buruknya. Sisi baiknya, saya hampir tak pernah kehabisan ide. Sisi buruknya, orang yang kebanyakan ide sama sialnya dengan orang yang tak punya ide sama sekali.
Makanya, saat saya punya ide, saya tidak langsung ‘panas’ dan menuliskannya menjadi sebuah novel. Percaya deh, saya sendiri bukti hidupnya, dan hasilnya adalah tulisan beberapa halaman yang tak selesai. Ide yang saya anggap keren saya sempurnakan dengan plotting. Saya harus tahu awal cerita, tengah, dan bagaimana ending-nya. Saya juga harus memikirkan bagaimana tokoh-tokoh itu bergumul dengan konflik di setiap fase cerita. Apakah ada yang berubah (prinsip, kepribadian, anything!). Karena, ini fakta banget ya, di novel mana pun karakter utamanya pasti pernah mengalami perubahan dalam hidupnya, minimal sekali. Entah dari status jomblo jadi in relationship, gemuk jadi kurus, married jadi divorcee.... Kalau nggak percaya, coba buktikan sendiri.
Saya baru benar-benar berani mengesahkan ide itu menjadi proyek novel saya berikutnya setelah saya punya plot lengkap dengan daftar karakter (plus biodata lengkapnya), setting yang jelas, dan referensi yang mendukung (misalnya, sebelum menulis Pillow Talk, saya mencari referensi tentang bisnis online).
#2: PUNYA TARGET
Kalau kamu kemudian memutuskan untuk membuat kegiatan menulismu di daftar prioritas kesekian dibanding hal-hal lainnya, berarti kamu nggak sungguh-sungguh jadi penulis. Kamu harus punya target, dalam waktu sekian bulan harus sudah selesai. Dengan begitu, kamu tahu seberapa besar kamu harus berkorban demi novelmu. Waktu tidurmu berkurang. Kamu jadi jarang menonton TV atau sekadar hang-out sama teman. Semua waktu luang kadang habis di depan laptop. Been there, done that, tapi itu pilihan yang saya ambil. Dan saya menikmatinya karena, hello, siapa juga yang mau berkorban seperti itu untuk sesuatu yang tidak teramat dicintai?
#3: PILIH WAKTU MENULIS YANG PALING BIKIN NYAMAN
Apa kamu tipe yang senang berteman dengan kuntilanak, alias penulis malam-malam? Ato kamu tipe penulis yang senang mengganggu tetangga sebelah subuh-subuh dengan memutar lagu-lagu hiphop yang iramanya menghentak-hentak (kayak saya)? Ato kamu jenis penulis tipe lain, menulis di jam-jam tertentu karena hanya waktu itulah kamu benar-benar lowong.
Yah, apa pun ya, itu pilihanmu sendiri. Choose one and stick to that schedule everyday! Buat mendisiplinkan diri, kamu bisa pake sistem reward and punishment. Misalnya, kalau berhasil menyelesaikan satu bab, kamu bisa makan es krim yang sengaja disimpan di lemari. Dan kalau kamu ‘lupa’ menulis di hari itu, kamu menghukum dirimu dengan mengepel lantai rumah atau apalah.
Yah, apa pun ya, itu pilihanmu sendiri. Choose one and stick to that schedule everyday! Buat mendisiplinkan diri, kamu bisa pake sistem reward and punishment. Misalnya, kalau berhasil menyelesaikan satu bab, kamu bisa makan es krim yang sengaja disimpan di lemari. Dan kalau kamu ‘lupa’ menulis di hari itu, kamu menghukum dirimu dengan mengepel lantai rumah atau apalah.
#4: PERCAYA DIRI
Faktor lain yang sering bikin proses menulis terganggu adalah karena kurangnya rasa percaya diri. “Tulisan gue nggak sebagus penulis A.” “Ide tulisan gue biasa banget—mana mungkin diterima penerbit.” Here’s another truth: kamu nggak akan pernah jadi penulis A itu. Kamu punya latar belakang keluarga, pendidikan, pergaulan, film, buku yang berbeda, jadi secara logika pun kamu akan menulis dengan gaya berbeda pula. Jadi, daripada mengkhawatirkan tulisanmu bisa sebagus penulis A, kamu cukup berjanji pada dirimu sendiri akan menulis sebagus mungkin. Lagian, ih, siapa juga yang mau disama-samakan dengan penulis tertentu. Entar dibilang niru lagi....
Kedua, what you write is what you are. Dan tulisanmu akan memperlihatkan seperti dirimu saat menuliskannya itu. Thanks to pengalaman membaca naskah selama bertahun-tahun, saya sampai tahu di bagian mana penulis mulai ‘capek’ dan ‘bingung mau ngelanjutin ceritanya ke mana’.
Jadi, kalau kamu sedari awal sudah terlihat tak percaya diri dengan tulisanmu, hasilnya juga nggak mungkin bagus. Kamu nganggep tulisanmu biasa? Yep, di mata pembaca di luar sana pun akan ‘biasa’ juga.
Jadi, kalau kamu sedari awal sudah terlihat tak percaya diri dengan tulisanmu, hasilnya juga nggak mungkin bagus. Kamu nganggep tulisanmu biasa? Yep, di mata pembaca di luar sana pun akan ‘biasa’ juga.
#5: MULAILAH MENULIS
Ya ampun, tip ini dibaca juga? Berarti kamu belum mulai menulis dong.
Ckckckck... ayo buruan ditulis itu novelnya!
Ckckckck... ayo buruan ditulis itu novelnya!
BAGAIMANA CARANYA MENJADI PENULIS YANG BAIK (Oleh Christian Simamora from his FB)
#1: Banyak Membaca
You write what you read. Kamu nggak bakal tahu minat kamu menulis novel yang seperti apa kalo kamu nggak suka membaca. Bagi penulis, bacaan yang bagus adalah suntikan energi bagi tulisannya kelak. Kamu bahkan bisa menyerap semangat penulisnya hanya dari membaca tulisannya.
#2: Menulis setiap hari
Tak ada yang bilang proses menulis sesuatu yang gampang dan bisa disambi. Apalagi novel yang, well, kita semua tahu, butuh 'napas' yang panjang dari penulisnya. Kamu bakal ngabisin waktu berjam-jam, berhari-hari, bahkan mungkin sampai berbulan-bulan, demi menyelesaikan tulisanmu. It's a hard work you choose to do. Jadi, perlakukan serius tulisanmu itu. Jangan berhenti sampe 'the end'.
#3: Belajar
Banyak teman-teman penulis merasa tidak perlu mempelajari teori-teori menulis. Ada benarnya memang. Tapi akan lebih baik lagi kalo kamu mencoba mencari tahu seperti apa cara menulis yang baik. Teori-teori dasarnya memang bukan sesuatu yang baku dalam dunia kepenulisan, tapi kalo kamu tahu juga tak ada salahnya juga kan?
Saya sendiri memulai menulis secara otodidak. Saya tidak masuk kelas menulis, apalagi masuk jurusan creative writing. Tapi, ketika mendapat kesempatan belajar teori-teori menulis, saya dicerahkan. Ketakutan saya akan tulisan yang kurang deskriptif, ending yang kurang menggigit, karakter yang terasa klise akhirnya bisa teratasi.
Saya belajar dan saya menikmati setiap detiknya.
#4: Self-editing
Salah seorang guru menulis yang saya hormati pernah bilang, menulisnya secepat-cepatnya, lalu editlah tulisan kamu sebaik-baiknya. That is sooo true. Saya menyukai proses penulisan tanpa godaan mengeditnya sekali-sekali. Saya tahan diri saya sampai akhirnya tiba di baris terakhir novel saya. Lalu, setelah mengendapkannya selama beberapa hari, saya kembali membaca ulang dan mengedit bagian-bagian mana saja yang terasa kurang.
NASKAH DITOLAK (Oleh Christian Simamora from his FB)
Here comes the bad memories: ya, saya pernah ditolak. Dua kali malah. Dan saat itu saya merasa editor adalah orang paling kejam yang pernah saya kenal seumur hidup (which is agak ironis ya, karena lihatlah saya sekarang, hehe). Bukan itu saja, penolakan itu membangkitkan pertanyaan berbahaya di benak saya: apakah saya benar-benar punya bakat di dunia tulis-menulis ini? Apa mungkin saya memang ditakdirkan mencari pekerjaan yang biasa-biasa saja—seperti manusia normal lainnya?
Jadi, yeah, buat teman-teman yang baru saja atau pernah ditolak naskahnya oleh sebuah penerbit, jangan buru-buru merasa jadi pecundang. Yang ditolak bukan kamu saja kok. Dan sama seperti kata D’Masiv di lagunya: Jangan Menyerah.
Banyak Alasan Kenapa Naskah Ditolak
Saya pernah tanya ke seorang penulis, kenapa naskahnya ditolak penerbit. Dengan wajah sedih, dia berkata lirih, “Yah, paling karena jelek lah, Bang.”
Memang benar, naskah ditolak berarti di bawah standar penerbit itu. Tapi sebenarnya, bukan itu saja faktor yang membuat naskah tersebut dikembalikan. Satu, bisa jadi tidak sesuai karakter penerbit. Ada penerbit yang menerbitkan fiksi bertema religius—coba bayangkan, kira-kira apa yang terjadi kalau Shit Happens dikirimkan ke sana? Bakal diterima nggak?
Dua, naskah kamu bukan jenis terbitan mereka. Jadi cermati baik-baik terbitan mereka yang terbaru. Catet, terbitan terbaru (tahun ini), bukan tiga atau empat tahun lalu. Perbukuan adalah dunia yang dinamis, dan dunia ini juga mengenal istilah ‘tren’ dan ‘konsentrasi terbitan’. Bisa jadi yang empat tahun oh-so-famous, tahun ini sudah tidak diterbitkan lagi.
Saya pernah tanya ke seorang penulis, kenapa naskahnya ditolak penerbit. Dengan wajah sedih, dia berkata lirih, “Yah, paling karena jelek lah, Bang.”
Memang benar, naskah ditolak berarti di bawah standar penerbit itu. Tapi sebenarnya, bukan itu saja faktor yang membuat naskah tersebut dikembalikan. Satu, bisa jadi tidak sesuai karakter penerbit. Ada penerbit yang menerbitkan fiksi bertema religius—coba bayangkan, kira-kira apa yang terjadi kalau Shit Happens dikirimkan ke sana? Bakal diterima nggak?
Dua, naskah kamu bukan jenis terbitan mereka. Jadi cermati baik-baik terbitan mereka yang terbaru. Catet, terbitan terbaru (tahun ini), bukan tiga atau empat tahun lalu. Perbukuan adalah dunia yang dinamis, dan dunia ini juga mengenal istilah ‘tren’ dan ‘konsentrasi terbitan’. Bisa jadi yang empat tahun oh-so-famous, tahun ini sudah tidak diterbitkan lagi.
Tiga, isu SARA dan kontroversial di naskahmu. Khusus yang ini, harap kamu berhati-hati. Bermain-main di naskah yang edgy dan pushing boundaries memang tantangan menggoda, tapi harap lakukan dengan memperhatikan kenyamanan para pembaca juga. Nggak lucu lho nge-joke soal orientasi seksual, agama, suku, atau kelompok masyarakat tertentu. Saya percaya kamu bisa kok membuat pembaca tertawa terbahak-bahak tanpa harus membuat orang lain tersinggung. Spongebob saja bisa....
Naskah Dikembalikan—Terus Harus Gimana Dong?
Penerbit yang baik biasanya akan memberitahukan poin-poin minus naskahmu. Perhatikan baik-baik poin tersebut karena dari situlah kamu bisa memutuskan apakah naskah itu masih layak untuk direvisi atau sebaiknya menulis naskah baru saja.
Kalau yang bermasalah adalah porsi deskripsi yang kurang berimbang dengan narasi (“Naskah kamu masih ‘telling’, nggak ‘showing.’”), dan setting yang kurang meyakinkan—selamat! Kamu masih bisa berharap banyak dengan naskahmu ini. Solusinya pun simpel: revisi sesuai permintaan editor.
Kalau yang bermasalah adalah karakter tokoh (“Klise, nggak konsisten, tidak menarik, dsb....”, plot dan konflik (“Cerita kamu datar, konflik kurang kuat, dsb....”), dialog (“Bertele-tele, kaku, dsb....”), gaya penulisan—ouch. Sebaiknya kamu menulis naskah baru saja. Segigih apa pun kamu merevisi, hasilnya nggak akan terlalu memuaskan.
Naskah Dikembalikan—Terus Harus Gimana Dong?
Penerbit yang baik biasanya akan memberitahukan poin-poin minus naskahmu. Perhatikan baik-baik poin tersebut karena dari situlah kamu bisa memutuskan apakah naskah itu masih layak untuk direvisi atau sebaiknya menulis naskah baru saja.
Kalau yang bermasalah adalah porsi deskripsi yang kurang berimbang dengan narasi (“Naskah kamu masih ‘telling’, nggak ‘showing.’”), dan setting yang kurang meyakinkan—selamat! Kamu masih bisa berharap banyak dengan naskahmu ini. Solusinya pun simpel: revisi sesuai permintaan editor.
Kalau yang bermasalah adalah karakter tokoh (“Klise, nggak konsisten, tidak menarik, dsb....”, plot dan konflik (“Cerita kamu datar, konflik kurang kuat, dsb....”), dialog (“Bertele-tele, kaku, dsb....”), gaya penulisan—ouch. Sebaiknya kamu menulis naskah baru saja. Segigih apa pun kamu merevisi, hasilnya nggak akan terlalu memuaskan.
Lalu, bagaimana kalau ditolak oleh penerbit yang bahkan tidak mau repot-repot memberi poin-poin kritikan seperti itu? Saya mengalami yang seperti ini. Dan hal pertama yang saya lakukan (setelah berhasil ‘bangkit’ dari momen berduka selama seminggu lebih, hehe) adalah memata-matai buku terbitan penerbit itu. Cari tahu seperti apa buku best-seller mereka, tema-tema apa saja yang jadi unggulan di sana, siapa-siapa saja penulis kebanggaan mereka—cari tahu sampai sedetail-detailnya.
Saya ingat, dulu, di salah satu talkshow-nya, Raditya Dika pernah bilang, dia mengasah naluri menulis komedinya dengan membaca novel-novel Lupus—religiously. Dia membaca ulang semua novel-novel Lupus, dan menggaris bawahi bagian mana saja yang membuat dia tertawa. Nah, konon, saat menulis buat blog-nya (yang kelak menjadi buku Kambing jantan) berdasarkan apa yang dia pelajari dari novel-novel itu.
Saya ingat, dulu, di salah satu talkshow-nya, Raditya Dika pernah bilang, dia mengasah naluri menulis komedinya dengan membaca novel-novel Lupus—religiously. Dia membaca ulang semua novel-novel Lupus, dan menggaris bawahi bagian mana saja yang membuat dia tertawa. Nah, konon, saat menulis buat blog-nya (yang kelak menjadi buku Kambing jantan) berdasarkan apa yang dia pelajari dari novel-novel itu.
Saya mencoba hal serupa sebelum menulis Macarin Anjing. Saya memata-matai beberapa judul novel remaja bestseller dan mempelajari baik-baik semua elemennya—yah, jadinya seperti menganalisis bahan makalah deh! Seperti apa penulis membuat bab pertamanya, bagaimana juga cara si penulis mengakhiri ceritanya, bagaimana menyelipkan line-line komedi dan romantis di dalam dialog, bagaimana si penulis membuat karakter utamanya, bagaimana si penulis mengolah konflik cerita, dan sebagainya. (Funny thing is, beberapa bulan setelah Macarin Anjing terbit, saya dihubungi oleh seorang mahasiswa yang tertarik menjadikan novel itu sebagai bahan skripsi).
Ejaan Berbahasa
Tak sekali dua kali saya mendengar celotehan teman-teman penulis yang bilang ejaan itu urusannya editor. “Tugas kita ya nulis aja.” Ada benarnya sih. Tapi pernah nggak teman-teman berpikir, para editor-lah yang menentukan naskahmu layak diterbitkan atau nggak. Jadi, daripada menganggap remeh urusan ejaan ini, coba deh kamu bereskan sendiri jauh sebelum memutuskan mengirimkan naskah ke penerbit.
Mereka paham benar nggak semua penulis mengerti betul soal EYD dan sodara-sodaranya, tapi bisa kan paling nggak memperhatikan betul... minimal tanda baca deh. Ini beberapa contoh kasus yang pernah saya temukan di tumpukan-tumpukan naskah yang ditolak (versi biasa dan versi ekstrim). Hindari naskah novel, bukan SMS atau postingan spontan di wall Facebook. Kasihan editornya ah kalau semuanya disingkat-singkat, dan pakai huruf kecil semua. I have no problem on Alay people. Tapi, serius deh, tega amat nulis novel berpuluh-puluh halaman dengan gaya Alay... -___-
Mereka paham benar nggak semua penulis mengerti betul soal EYD dan sodara-sodaranya, tapi bisa kan paling nggak memperhatikan betul... minimal tanda baca deh. Ini beberapa contoh kasus yang pernah saya temukan di tumpukan-tumpukan naskah yang ditolak (versi biasa dan versi ekstrim). Hindari naskah novel, bukan SMS atau postingan spontan di wall Facebook. Kasihan editornya ah kalau semuanya disingkat-singkat, dan pakai huruf kecil semua. I have no problem on Alay people. Tapi, serius deh, tega amat nulis novel berpuluh-puluh halaman dengan gaya Alay... -___-
Nyali
Ditolak sekali, masih semangat. Ditolak dua kali, mulai berpikir panjang. Ditolak berkali-kali, mindernya keluar deh. Saya tahu, mencoba berdiri lagi setelah gagal berkali-kali memang berat, tapi ya berdasarkan pengalaman bagian ini bukan hal terberat menjadi penulis lho (I will tell you later).
Aza-aza fighting, Teman! Cuma itu yang bisa saya bilang. Percayalah, di suatu masa di proses panjang dan melelahkan ini, kamu bisa menaklukkan editor-editor itu dan membuat mereka jatuh cinta pada tulisanmu. Jadi, sampai yang seperti itu benar-benar terjadi dalam hidupmu, tetaplah menulis.
Ditolak sekali, masih semangat. Ditolak dua kali, mulai berpikir panjang. Ditolak berkali-kali, mindernya keluar deh. Saya tahu, mencoba berdiri lagi setelah gagal berkali-kali memang berat, tapi ya berdasarkan pengalaman bagian ini bukan hal terberat menjadi penulis lho (I will tell you later).
Aza-aza fighting, Teman! Cuma itu yang bisa saya bilang. Percayalah, di suatu masa di proses panjang dan melelahkan ini, kamu bisa menaklukkan editor-editor itu dan membuat mereka jatuh cinta pada tulisanmu. Jadi, sampai yang seperti itu benar-benar terjadi dalam hidupmu, tetaplah menulis.
MENGEDIT NASKAH (Oleh Raditya Dika from his blog)
1. Kasih jarak dulu
Sebelum mengedit tulisan kamu, simpen dulu tulisan tersebut minimal satu minggu. Begitu kamu selesai menulis draft 1, jalan-jalan dulu, lupakan tentang naskah kamu. Baru, setelah seminggu, kembali ke naskah kamu. Dengan memberikan waktu/jarak seperti ini, pasti mata kamu dalam membaca naskah kamu akan lebih fresh. Mata kamu akan menjadi mata seorang pembaca yang bisa melihat kesalahan-kesalahan yang mungkin tidak terlihat sewaktu sedang menulis dulu.
2. Lebih padat lagi!
Bagi gue, mengedit lebih berarti memotong, atau merampingkan. Gue akan lihat kalimat-kalimat yang bisa dibuat lebih “padet”. Gue akan coba menggunakan kata yang lebih sedikit untuk tujuan yang sama. Misalnya, di naskah ada tulisan: “Gue sama sekali enggak tahu apa gue harus pergi ke sana atau tidak.” Kalimat ini akan gue buat lebih padet dengan menulisnya seperti ini aja: “Gue bingung ke sana apa enggak.” Kalimat dengan jumlah kata yang sedikit seperti ini membuat tulisan kita tidak terasa “sesak” dan “ramai”.
3. Kurangi kalimat pasif
Gue pasti sebisa mungkin menggunakan kalimat aktif. Setiap kali gue nemu kalimat pasif, pasti gue ubah menjadi aktif. Seperti misalnya: “Ketimun itu diambil Edgar” akan gue ganti menjadi “Edgar mengambil ketimun”. Penulisan kalimat dalam bentuk aktif akan membuat pembaca bisa membayangkan kalimat tersebut dengan lebih visual. Kalimat aktif juga membuat pembaca merasa tulisannya bergerak maju, dan orang-orang ditulisan tersebut terasa melakukan kegiatan.
4. Speaker attribution
Speakter attribution berarti frase yang menandakan siapa yang berbicara dalam kalimat langsung. Misalnya “kata Edgar”, atau “kata gue”, atau “kata Nyokap”. Biasanya dalam mengedit gue akan membuat dialog menjadi lebih enak divisualkan dengan mengganti/mencampurkan speaker attribution dengan sebuah kegiatan.
Misalnya:
“Gar, di buku Marmut Merah Jambu ada cerita tentang kamu ya!” seru gue.
“Sudah cukup, Bang! Aku udah gak mau lagi ditulis di buku Abang,” kata Edgar.
“Tapi Gar, kalo abang kasih sepuluh ribu perak mau?” tanya gue.
“Mau, Bang! Mau!” kata Edgar.
Gue edit menjadi lebih visual dan tidak membosankan menjadi:
“Gar, di buku Marmut Merah Jambu ada cerita tentang kamu ya!” seru gue.
“Cukup, Bang!” Edgar menggelengkan kepalanya. “Aku udah gak mau lagi ditulis di buku Abang!”
Gue mengeluarkan dompet, “Tapi, Gar… Kalo abang kasih sepuluh ribu perak mau?”
“MAU BANG! MAU!”
Harga diri Edgar ternyata lebih murah daripada gue kira.
4. Cek typo
Selalu cek dan re-check tulisan kamu sudah bebas kesalahan ketik. Tidak ada yang lebih nyebelin buat editor penerbit baca selain naskah yang banyak salah ketik.
5. KISS = Keep It Simple, Stupid!
Gue adalah tipe penulis yang selalu menghindari penggunaan kata yang terlalu berat. Kalau gue nemuin kata seperti ini dalam buku gue: “Dia harus lebih konsisten dalam mengaktualisasikan idenya.” biasanya gue akan ganti menjadi “Dia harus lebih sering mewujudkan idenya.” Kata-kata dalam Bahasa Inggris yang keluar pas lagi nulis draft pertama seperti “gesture” gue pasti rubah menjadi “sikap”. Sebisa mungkin gue menulis dengan istilah yang lebih banyak orang tahu. Semakin simpel, semakin baik. Menulis bukan untuk memberitahu kamu pintar dan ngerti banyak kata-kata aneh, tapi untuk mengkomunikasikan cerita kamu secara efektif kepada pembaca.
6. Struktur dulu, baru komedi
Karena gue adalah penulis komedi, sewaktu menulis gue berusaha untuk tertawa pada jokes gue. Kalau gue ketawa, berarti jokesnya berhasil, paling enggak buat gue. Kalau lagi editing, gue emang jarang ketawa sama jokes yang gue buat sebelumnya (karena udah tahu apa jokesnya apa). Tapi, biasanya gue akan selalu mencari celah untuk memasukkan komedi ke dalam tulisan gue sembari gue mengedit.
Buat kamu yang mau menulis komedi, jangan takut kalau dalam draft pertama tulisan kamu belum lucu. Komedi akan datang sendirinya kalau struktur tulisan kamu sudah rapih dan benar. Konsentrasi dulu dengan cerita yang mau kamu sampaikan, dan komedi bisa ditambahkan/dieksplorasi pada saat rewriting. Hindari penulisan komedi yang malas seperti memasukkan tebak-tebakan, cerita lucu, ini semua harus dihapus pas lagi ngedit tulisan kamu.
7. Hindari hal-hal klise
Gak tahu dengan penulis lain, tapi gue gak terlalu suka dengan penggunaan istilah yang klise seperti “Dia seperti tong kosong nyaring bunyinya”, atau “Dia cewek terindah yang pernah gue lihat”, atau “Gue cinta sama dia setengah mati”. Istilah klise ini selain sudah terlalu sering digunakan, juga tidak memperkaya tulisan kita sendiri. Setiap kali ngedit, gue mencari istilah-istilah klise ini, membuangnya, dan mencari metafor lain yang belum pernah dipakai sebelumnya.
8. Udah kelar? Edit lagi!
Writing is rewriting. Kalau kamu pikir editan kamu udah bagus, kasih jarak seminggu, lalu baca ulang dan edit lagi. Ulangi sampai kamu merasa tulisan kamu sudah benar-benar bagus. Kecuali kalo kamu ditungguin editor dan naskahnya sudah masuk deadline mau terbit kayak gue. Huehehehhe..
Semoga membantu calon-calon penulis yang juga lagi nulis/ngedit tulisannya.
TIPS MENULIS (Oleh Dewi Lestari from her blog)
1. To cut off excess emotion (and spare our readers’ eyes from suffering): Kurangi tanda seru, tanda baca berlebihan, titik-titik yang terlalu panjang, huruf yang dilipatgandakan untuk kesan dramatis (e.g., “aaaaaargh!”, “Iyaaaaaaaa… iyaaaaaa…”). Trust me, THREE is enough. We get it! Thank you! Tanda baca, I tell ya, is a very powerful tool. Use it wisely, otherwise we’ll weaken its meaning, thus kill our own writing.
2. You’re about to write a novel, NOT A 50 PAGES of SMS! Inserting an sms text can be cute, especially when there’s a special purpose behind it. If that’s the case, by all means, go for it. But too much of it will be… well, too much. Keep that sms style in your own cellphone. Don’t torture your readers any further, they had enough already from their daily cellular interactions.
3. We’re writers, but don’t write’em all down. Trust our readers’ ability to imagine things. And give them some inspiring and convincing description, bukan sekadar deskripsi harfiah akibat malas mikir. A person laughs, okay, but we don’t need to read the “hahahaha”. A person’s heartbeat is racing, okay, but we don’t need to read the “dag-dig-dug”. A person walks through a dark alley, fine, but we don’t need to read the “sret-sret-sret”. A phone rings, please, save the “KRING! KRING! KRING!” for a toddler’s storybook.
4. Keep the dialogue efficient. Sometimes we try to so hard to create a lively situation, we forget that universe favors efficiency. We don’t have to write each, small responses like: “Ha?”, or “APA?!”, or “Huh!”. Do it when it’s really, really essential, and when we don’t have any better way to describe the character’s state of being. All good movies or tv series are efficient with wordings, for every minute counts. Every minute has to be captivating. Blah movies are not, that’s why we usually want to go out of the theatre within the first 15 minutes, or change the channel after ten seconds. Unless it’s really necessary and it serves a certain purpose, cut all excessive responses.
5. I cannot begin to tell you, and to remind myself, how important editing is. No, bukan cuma editorial bahasa. Tapi ritme dan penataan tempo adegan demi adegan—khususnya jika kita mengerjakan cerita bersambung, or a great romance/novel. Membaca novel, apalagi yang ekstra tebal, adalah perjuangan. Bagi saya, ini adalah salah satu aspek terberat yang harus saya kerjakan. Bagaimana mengatur adegan demi adegan dalam sebuah bab hingga selalu menyisakan umpan yang membuat pembaca untuk terus melanjutkan. And that’s what I’ve tried to learn from Candy-candy, Pop Corn, Ke Gunung Lagi… yakni bagaimana umpan-umpan yang kita miliki dapat tersebar dengan tepat hingga perjalanan novel itu tidak membosankan, dan selalu ada sesuatu yang dituju. In short, we have to create an addiction. I think this also differs good movies from crappy movies. The first builds a magnetic ride that sticks our butt to the theatre’s chair, the latter builds an imaginary farm with all white and fluffy sheep for us to count to slumberland.
6. The ending. Do you like sad ending? I don’t. I know some people who are just so into sad, tragic, black endings, which is completely okay, really. Not every story in real life ends up with a happy ending. Sad, tragic, black endings are real. But I just hate it when I’ve spent so much time and energy to finish up a book, a thick one, and finally stumbled with a sad, helpless feeling at the end. It just SUCKS! I’d like to feel empowered, inspired, and satisfied at the end of my struggle. A happy ending doesn’t have to be like the typical Hollywood where they just… have to… kiss. Argh. Happy endings can be made classy and subtle. All in all, I just don’t have the heart to devastate my readers with a sad ending, especially after I’ve dragged them to finish hundreds of pages. You better not too. Well, it’s your choice at the end of the day, but please warn me before I spend my good money on your suck ending.
7. This may be my exclusive, subjective experience, but I personally found that these things are counterproductive, distractive, and dangerous for our writing, for they may interrupt our working session, suck dry our energy, and taking up so much of our precious time. People, if you’re into serious writing where every hour counts, stay away from these poisons: FRIENDSTER, FACEBOOK, MY SPACE, MAILING LIST.
5. I cannot begin to tell you, and to remind myself, how important editing is. No, bukan cuma editorial bahasa. Tapi ritme dan penataan tempo adegan demi adegan—khususnya jika kita mengerjakan cerita bersambung, or a great romance/novel. Membaca novel, apalagi yang ekstra tebal, adalah perjuangan. Bagi saya, ini adalah salah satu aspek terberat yang harus saya kerjakan. Bagaimana mengatur adegan demi adegan dalam sebuah bab hingga selalu menyisakan umpan yang membuat pembaca untuk terus melanjutkan. And that’s what I’ve tried to learn from Candy-candy, Pop Corn, Ke Gunung Lagi… yakni bagaimana umpan-umpan yang kita miliki dapat tersebar dengan tepat hingga perjalanan novel itu tidak membosankan, dan selalu ada sesuatu yang dituju. In short, we have to create an addiction. I think this also differs good movies from crappy movies. The first builds a magnetic ride that sticks our butt to the theatre’s chair, the latter builds an imaginary farm with all white and fluffy sheep for us to count to slumberland.
6. The ending. Do you like sad ending? I don’t. I know some people who are just so into sad, tragic, black endings, which is completely okay, really. Not every story in real life ends up with a happy ending. Sad, tragic, black endings are real. But I just hate it when I’ve spent so much time and energy to finish up a book, a thick one, and finally stumbled with a sad, helpless feeling at the end. It just SUCKS! I’d like to feel empowered, inspired, and satisfied at the end of my struggle. A happy ending doesn’t have to be like the typical Hollywood where they just… have to… kiss. Argh. Happy endings can be made classy and subtle. All in all, I just don’t have the heart to devastate my readers with a sad ending, especially after I’ve dragged them to finish hundreds of pages. You better not too. Well, it’s your choice at the end of the day, but please warn me before I spend my good money on your suck ending.
7. This may be my exclusive, subjective experience, but I personally found that these things are counterproductive, distractive, and dangerous for our writing, for they may interrupt our working session, suck dry our energy, and taking up so much of our precious time. People, if you’re into serious writing where every hour counts, stay away from these poisons: FRIENDSTER, FACEBOOK, MY SPACE, MAILING LIST.
8. Seperti halnya anggur, tape, tempe, peuyeum, saya pun percaya bahwa tulisan adalah ‘makanan’ yang harus melalui proses fermentasi yang pas dan memadai untuk bisa matang. Terkadang proses fermentasi ini menjadi barang mewah saat kita dikejar deadline yang mepet. But trust me, this phase is very important. May it be a day or a week, give our writing a time to ripen. Close your manuscript and leave it untouched. Then, after a while, read it again and watch for yourself how the magic starts to happen. Yes. Your writing will reveal its true face. Most of the time, it gets uglier. But this is the true reality, and we need to face it. Justru pada saat tulisan kita menunjukkan wajah aslinya, kita punya kesempatan untuk memperbaiki apa-apa saja yang sekiranya kurang. Based on my experience, this fermentation process should be at least 5 days. Two weeks will be perfect.
9. Careful, though, the fixing process may seem endless. Each time we ferment our writing, we’ll always find some new things to fix. Jadi, biasanya saya hanya membatasi sampai tiga kali. Selepas tiga kali… just let it go. Ikhlaskan. Ini pun ujian yang cukup berat untuk para penulis, yakni: menarik garis usai. Sampai hari ini pun terkadang saya masih gatal ingin memperbaiki manuskrip Supernova, atau Filosofi Kopi. But I know, once they’ve ripened, we need to honor our writing as it is. Berhenti di satu titik usai, dan menerima karya kita apa adanya. Our flaws and imperfections may still be there, but embracing them means we embrace ourselves, including our mistakes and weaknesses. I tell ya one secret: no work is perfect. Makna kesempurnaan bagi saya bukan lagi karya tanpa cacat, melainkan penerimaan yang menyeluruh dan apa adanya.
9. Careful, though, the fixing process may seem endless. Each time we ferment our writing, we’ll always find some new things to fix. Jadi, biasanya saya hanya membatasi sampai tiga kali. Selepas tiga kali… just let it go. Ikhlaskan. Ini pun ujian yang cukup berat untuk para penulis, yakni: menarik garis usai. Sampai hari ini pun terkadang saya masih gatal ingin memperbaiki manuskrip Supernova, atau Filosofi Kopi. But I know, once they’ve ripened, we need to honor our writing as it is. Berhenti di satu titik usai, dan menerima karya kita apa adanya. Our flaws and imperfections may still be there, but embracing them means we embrace ourselves, including our mistakes and weaknesses. I tell ya one secret: no work is perfect. Makna kesempurnaan bagi saya bukan lagi karya tanpa cacat, melainkan penerimaan yang menyeluruh dan apa adanya.